BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Typhoid
a.
Definisi
Typhoid
adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan
gejala demam lebih dari satu minggu,gangguan pada sistem pencernaan,dan
gangguan kesadaran. ( Ngastiyah, 1997: 155 )
Typhoid adalah
infeksi akut usus halus.( Arif mansjoer, 2000 : 421 )
Typhoid
adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari
satu minggu,dan terdapat gangguan
kesadaran.( Suriadi Skp, 2001 : 281 )
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa typhoid adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran
pencernaan akibat bakteri salmonella
thypii
b.
Anatomi dan Fisiologi
Anatomi dan
fisiologi ini diambil menurut beberapa sumber, diantaranya : frances Donovan
Monahan (1998), www.medicastore.com (2004), Guyton dan Hall (1997), Syarifudin (1997) :
Saluran
pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus (
Duodenum, yeyenum, dan illeum ), usus besar ( seikum, kolon assenden, kolon
tranversum, kolon desenden dan kolon sigmoid ), rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ asesoris yang terletak diluar saluran
pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
Karya tulis
ini membahas tentang typhoid perforasi, yang terjadi didalam usus halus. Maka
penulis akan membahas sekilas tentang usus halus yang terdapat didalam saluran
pencernaan.
1)
Usus Halus (Usus Kecil)
Gambar 1 Usus Halus
Sumber : Sobotta
Lapisan
usus halus (gambar 3) terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu :
a) Lapisan luar adalah membran selulosa,
yaitu peritornium yang melapisi usus halus dengan erat.
b) Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan
serabut, lapisan luar yang memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang
melingkar (serabut sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus
yang turut serta dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan
enzim-enzim pencernaan dan pergerakkan makanan sepanjang saluran pencernaan..
Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe,
dan pleksus syaraf.
c) Submukosa terdiri dari jaringan ikat yang
mengandung syaraf otonom, yaitu plexus of
meissner yang mengatur kontraksi muskularis mukosa dan sekresi dari mukosa
saluran pencernaan. Submukosa ini terdapat diantara otot sirkuler dan lapisan
mukosa. Dinding submukosa terdiri atas jaringan alveolar dan berisi banyak
pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan pleksus syaraf yang disebut plexus of meissner.
d)
Mukosa
dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi getah usus
halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi
cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis) dari duodenum, jejunum, dan ileum.
Produksinya dipengaruhi oleh hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini
terdapat vili yang merupakan tonjolan dari plica
circularis (lipatan yang terjadi antara mukosa dengan submukosa). Lipatan
ini menambah luasnya permukaan sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan
lebih lama pada getah cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi
banyak lipatan Lieberkuhn yang
bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi. Lipatan
Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium
silinder.
Gambar 2 Lapisan Usus
Halus
Usus halus terdiri atas tiga bagian ,
yaitu:
a)
Duodenum
Duodenum adalah yang paling pendek dari
ketiganya, mualai dari dari pyloric
sphincter dan bersambung kira-kira 25 cm (10in) sampai bersatu dengan
jejunum. Berbentuk sepatu
kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini tempat bermuaranya pancreas dan
kantung empedu. Terdapat kelenjar blunner yang berfungsi untuk melindungi
lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah
kelenjar blunner akan mengeluarkan sekret cairan kental alkali.
b)
Jejunum
Jejunum segmen yang tengah,
kira-kira panjang 2,5 m dan bergabung dengan ileum. Di dalam usus ini, makanan
mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus.
Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang
dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan
menjadi bubur yang lumat yang encer.
c)
Ileum
Ileum panjangnya kira-kira 3,5 m (12ft)
yang bertemu dengan usus besar pada ileocecal valve, sebagai pintu masuk
kedalam cecum, katup ini biasanya menutup ketika absorpsi meningkat dan
mencegah pergerakan bakteri dari usus besar kedalam usus halus. Disini terjadi
penyerapan sari–sari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh
jonjot-jonjot usus/vili. Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum
menjadi semakin luas sehingga penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik.
Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk menyerap
zat hara. Enzim pada mikrovili menghancurkan makanana menjadi partikel yang
cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot terdapat pembuluh darah halus
dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam
amino, sedangkan asam lemak dan gliserol masuk ke sel limfa
c.
Etiologi
Etiologi typoid
berasal dari Genus salmonella, yang
terbagi menjadi 3 golongan:
1) Salmonella
typhosa, salmonella paratyphii A,B (schott mulleri) salmonella
paratyphii C (hirsch feldii).
2) Salmonella
typhimurium, salmonella choleraesius,salmonella enteriditis.
3) Salmonella yang hanya patogen pada
binatang
d.
Manifestasi Klinis
1) Minggu pertama
Demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, epistaksis
2) Minggu kedua
Demam, bradikardi relatif,
lidah typhoid ( lidah di tengah,tepi, ujung merah dan tremor) hepatomegali ,
spleno megali,gangguan kesadaran,
e.
Patofisiologi
f.
Potensial Komplikasi
1) Usus :
Perdarahan usus,melena,
perforasi usus, ileus paralitik, peritonitis.
2) Organ lain :
a) Tulang :
osteomielitis,periostitis,spondilitis,artitis.
b) Ginjal :
glomerulonefritis,pielonefritis,perinefritis.
c) Darah :
anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom uremia hemolitik
d) Jantung :kegagalan
sirkulai perifer (renjatan,sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis
e)Paru-paru :
bronco pneumoni, empiema, pleuritis
f) Hepar :
kolesistitis, hepatitis.
g) Neurologi :
meningitis, delirium, polineuritis perifer, sindrom gullain barre,
ensepalopati, psikosis.
g.
Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan darah tepi
:leukopenia,limfositosis, aneosinofilia, anemia dan trobositopenia
2) Pemeriksaan sum – sum tulang: menunjukan
gambaran hiperaktif sum-sum tulang
3) Biakan empedu : Terdapat basil salmonella
typhosa pada urin dan tinja
4) Pemeriksaan widal
5) Pemeriksaan SGOT, SGPT : sering kali meningkat
h.
Penatalaksanaan
1) Isolasi, disinfeksi pakaian dan ekskrta
2) Istirahat selama demam hingga dua minggu
3) Diit kalori tinggi,protein tinggi, tidak
mengandung banyak serat
4) Kolaborasi pemberian antibiotik
kloramfenikol dengan dosis tinggi.
2.
Laparatomy
- Pengertian
“ A laparatomy is a surgical incision into the abdominal
cavity ”.
(Health Web Site Advisory Committee http://www.urac.org)
“ Exploratory laparatomy, the surgical exploration of
the abdomen, is recommended whwn an abdominal desease from an unknown cause
needs to be diagnosed, or when there is an injury to the abdomen (caused by a
gunshot wound or stab wound, also known as “blunt trauma”) ”.
(Health On the Net Foundation http://www.hon.com)
“ A laparatomy is a large incision made into the abdomen
”
(Encyclopedia of Surgery http://www.google.com)
Berdasarkan ketiga pengertian di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa laparatomy adalah suatu pembedahan pada rongga
abdomen yang dilakukan untuk memeriksa nyeri atau trauma pada abdomen.
b.
Tujuan
Prosedur
ini dapat di indikasikan pada klien yang
mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau klien yang
mengalami trauma abdomen.
Laparatomy
eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan
perbaikan bila diindikasikan.
c.
Indikasi
Indikasi dilakukannya laparotomy
diantaranya yaitu :
1) Kanker pada organ abdomen (seperti pada
ovarium, kolon, pancreas, atau hati)
2)
Peritonitis appendicitis
3)
Kolelitiasis, kolesistitis
4)
Pankreatitis akut atau kronik
5) Abses retroperitoneal, abdominal, atau
pelvis (kantong/benjolan yang infeksi)
6)
Divertikulitis (inflamasi
kantong usus)
7) Adhesi (perlengketan jaringan pada
abdomen)
8)
Perforasi usus
9) Kehamilan ektopik (kehamilan di luar
uterus)
10)
Perdarahan internal
11)
Trauma abdomen
- Manifestasi Klinis
Manifestasi yang biasa timbul pada
pasien post laparatomy diantaranya :
1) Nyeri tekan pada area sekitar insisi
pembedahan
2) Dapat terjadi peningkatan respirasi,
tekanan darah, dan nadi.
3)
Kelemahan
4)
Mual, muntah, anoreksia
5)
Konstipasi
- Komplikasi
1)
Perdarahan
2)
Infeksi
3)
Kerusakan organ internal
4)
Adhesi organ visceral
- Konsep Keperawatan
“ Proses
keperawatan adalah proses yang terdiri dari lima tahap, yaitu pengkajian keperawatan,
identifikasi / analisa masalah ( diagnosa keperawatan ), perencanaan,
implementasi, dan evaluasi ”.
( Marilynn E.
Doenges, ect, 1999 : 2 )
Lima tahapan proses
keperawatan tersebut, yaitu :
1)
Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap pertama dari
proses keperawatan, dimana data-data dasar klien dikumpulkan. (Marilynn E.
Doenges, ect, 1999 : 14)
Data dasar klien adalah kombinasi data
yang dikumpulkan dari wawancara untuk pengambilan riwayat kesehatan klien ( metode
mendapatkan informasi subjektif dengan berbicara pada klien dan / atau orang
terdekat dan mendengarkan respon mereka ) ; pemeriksaan fisik ( mendapatkan
informasi objektif dengan menggunakan tangan ) ; dan data yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan laboratorium/diagnostik.
Pengkajian keperawatan pada klien
post laparatomy meliputi :
a)Biodata
(1)
Identitas Klien
Meliputi
: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor
register, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
tindakan medis.
(2)
Identitas Penanggungjawab
Meliputi :
nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan
dengan klien, sumber biaya.
b)
Lingkup Masalah Keperawatan
Keluhan utama : klien dengan
post laparatomy ditemukan adanya keluhan nyeri pada luka post operasi, mual,
muntah, distensi abdomen, badan terasa lemas.
c)
Riwayat Kesehatan
(1)
Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang
ditemukan pada saat pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan
menggunakan teknik PQRST, yaitu :
(a) P (Provokatif atau Paliatif), hal-hal yang
dapat mengurangi atau memperberat. Biasanya klien mengeluh nyeri pada daerah
luka post operasi. Nyeri bertambah bila klien bergerak atau batuk dan nyeri
berkurang bila klien tidak banyak bergerak atau beristirahat dan setelah diberi
obat.
(b) Q (Quality dan Quantity), yaitu bagaimana
gejala dirasakan nampak atau terdengar, den sejauh mana klien merasakan keluhan
utamanya. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dengan skala ≥ 5 (0-10) dan biasanya membuat klien
kesulitan untuk beraktivitas.
(c) R (Regional/area radiasi), yaitu dimana
terasa gejala, apakah menyebar? Nyeri dirasakan di area luka post operasi,
dapat menjalar ke seluruh daerah abdomen.
(d) S (Severity), yaitu identitas dari keluhan
utama apakah sampai mengganggu aktivitas atau tidak. Biasanya aktivitas klien
terganggu karena kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri luka post
operasi.
(e)
T
(Timing), yaitu kapan mulai munculnya serangan nyeri dan berapa lama nyeri itu
hilang selama periode akut. Nyeri dapat hilang timbul
maupun menetap sepanjang hari.
(2)
Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji apakah klien pernah
menderita penyakit sebelumnya dan kapan terjadi. Biasanya klien memiliki
riwayat penyakit gastrointestinal.
(3) Riwayat kesehatan Keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang
memiliki penyakit serupa dengan klien, penyakit turunan maupun penyakit kronis.
Mungkin ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit gastrointestinal.
d)
Riwayat Psikologi
Biasanya klien mengalami perubahan
emosi sebagai dampak dari tindakan pembedahan seperti cemas.
e)
Riwayat Sosial
Kaji hubungan klien dengan
keluarga, klien lain, dan tenaga kesehatan. Biasanya
klien tetap dapat berhubungan baik dengan lingkungan sekitar.
f)
Riwayat Spiritual
Pandangan klien terhadap
penyakitnya, dorongan semangat dan keyakinan klien akan kesembuhannya dan
secara umum klien berdoa untuk kesembuhannya. Biasanya aktivitas ibadah klien
terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri luka post
operasi.
g)
Kebiasaan Sehari-hari
Perbandingan kebiasaan di rumah
dan di rumah sakit, apakah terjadi gangguan atau tidak. Kebiasaan sehari-hari
yang perlu dikaji meliputi : makan, minum, eliminasi Buang Air Besar (BAB) dan
Buang Air Kecil (BAK), istirahat tidur, personal hygiene, dan ketergantungan.
Biasanya klien kesulitan melakukan aktivitas, seperti makan dan minum mengalami
penurunan, istirahat tidur sering terganggu, BAB dan BAK mengalami penurunan,
personal hygiene kurang terpenuhi.
h)
Pemeriksaan Fisik
(1)
Keadaan Umum
Kesadaran dapat compos
mentis sampai koma tergantung beratnya kondisi penyakit yang dialami,
tanda-tanda vital biasanya normal kecuali bila ada komplikasi lebih lanjut,
badan tampak lemas.
(2)
Sistem Pernapasan
Terjadi perubahan pola dan
frekuensi pernapasan menjadi lebih cepat akibat nyeri, penurunan ekspansi paru.
(3)
Sistem Kardiovaskuler
Mungkin ditemukan adanya perdarahan sampai
syok, tanda-tanda kelemahan, kelelahan yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir
kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat.
(4)
Sistem Pencernaan
Mungkin
ditemukan adanya mual, muntah, perut kembung, penurunan bising usus karena
puasa, penurunan berat badan, dan konstipasi.
(5)
Sistem Perkemihan
Jumlah
output urin sedikit karena kehilangan cairan tubuh saat operasi atau karena
adanya muntah. Biasanya terpasang kateter.
(6)
Sistem Persarafan
Dikaji
tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan dikaji semua fungsi nervus
kranialis. Biasanya tidak ada kelainan pada sistem persarafan.
(7)
Sistem Penglihatan
Diperiksa
kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi, reflek pupil terhadap
cahaya, visus (ketajaman penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan
pada sistem penglihatan.
(8)
Sistem Pendengaran
Amati
keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya sekret/lesi, ada tidaknya nyeri
tekan, uji kemampuan pendengaran dengan tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya
tidak ada keluhan pada sistem pendengaran.
(9)
Sistem Muskuloskeletal
Biasanya
ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri.
(10)
Sistem Integumen
Adanya
luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit menurun akibat kurangnya volume
cairan.
(11)
Sistem Endokrin
Dikaji
riwayat dan gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit endokrin, periksa
ada tidaknya pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada
keluhan pada sistem endokrin.
i)
Data Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium :
1) Elektrolit : dapat ditemukan adanya
penurunan kadar elektrolit akibat kehilangan cairan berlebihan
2) Hemoglobin : dapat menurun akibat
kehilangan darah
3) Leukosit : dapat meningkat jika terjadi
infeksi
j)
Terapi
Biasanya klien post laparotomy
mendapatkan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri, antibiotik sebagai anti
mikroba, dan antiemetik untuk mengurangi rasa mual.
2) Diagnosa Keperawatan .
Menurut Judith M. Wilkinson dalam Nursing
Diagnosis Handbook (2005) Diagnosa yang muncul pada klien laparotomy (
pembedahan abdomen ) adalah:
a) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan (b.d) ansietas, nyeri, posisi tubuh, penurunan energi atau
kelelahan, kelelahan otot-otot respirasi.
b)
Ansietas b.d prosedur
pembedahan, prosedur pra operasi, prosedur pasca operasi.
c)Risiko aspirasi , faktor risiko b.d penurunan
motilitas gastro intestinal, penekanan batuk, reflek muntah akibat anastesi
atau analgetik.
d) Gangguan citra tubuh b.d pembedahan.
e)Ketidakefektifan pola nafas b.d nyeri,
imobilitas, dan kondisi pasca anastesi.
f) Ketegangan peran pemberi perawatan b.d
keparahan penyakit penerima perawatan.
g) Konstipasi b.d penurunan aktifitas,
penurunan asupan cairan dan serat, kurang privasi, perubahan rutinitas harian,
penurunan peristaltik akibat anastesi, dan analgesik narkotik.
h) Ketakutan b.d hospitalisasi, ancaman nyata
terhadap kesejahteraan diri, hasil prosedur pembedahan, yang tidak dapat
diprediksikan, anastesi umum, hasil pembedahan, dan nyeri.
i)
Kekurangan
volume cairan b.d kehilangan darah tidak normal, kehilangan cairan yang tidak
normal (muntah), kegagalan mekanisme regulator.
j)
Risiko
infeksi ; faktor risiko b.d statis cairan tubuh, perubahan peristaltik, respon
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, insisi pembedahan,
dan kateter urin.
k) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, pembatasan diet,
peningkatan kebutuhan protein atau vitamin untuk penyembuhan.
l)
Perubahan
membran mukosa mulut b.d nafas melalui mulut dan statis puasa akibat selang
nasogastrik.
m) Nyeri b.d insisi, distensi abdomen, dan
imobilitas.
n) Perubahan pola seksualitas atau disfungsi
seksual b.d nyeri, transisi yang berkaitan dengan kesehatan, gangguan citra tubuh,
perubahan fungsi atau struktur tubuh, reaksi dari pasangan, impotensi
fisiologis, atau ketidakadekuatan lubrikasi vagina akibat pembedahan.
o) Kerusakan integritas kulit b.d faktor
mekanik, hambatan mobilitas fisik akibat nyeri dan jalur penusukan invasif,
ekskresi atau sekresi, status gizi buruk, perubahan sensasi.
p) Isolasi sosial b.d malu terhadap bau,
penampilan, atau alat yang terpasang (misalnya : kantong ostomy), reaksi dari
orang lain terhadap penampilan dan bau.
q) Perubahan perfusi jaringan (gastro
intestinal) b.d interupsi dari aliran arterial, masalah pertukaran,
hipervolemia, dan hipovolemia.
3. Perencanaan / Intervensi
Keperawatan
Rencana tindakan berdasarkan
diagnosa keperawatan yang muncul menurut Judith M. Wilkinson dalam Nursing Diagnosis Handbook (2005)
adalah sebagai berikut:
a. Inefektif bersihan jalan nafas b.d efek
anastesi,
Kriteria evaluasi :
1) Klien akan mempunyai kepatenan jalan
nafas
2) Pengeluaran sekresi efektif
3) Respirasi dan ritme dalam batas normal
4) Fungsi pulmonali dalam batas normal
5) Mampu menyususn rencana untuk perawatan
di rumah
Intervensi
|
Rasional
|
1. Manajemen jalan nafas : fasilitasi
kepatenan jalan nafas.
2. Suction : pembuangan sekresi dengan
memasukan katetersuction pada jalan nafas pasien dan/atau trachea.
3. Terapi oksigen : pemberian oksigen dan
pemantauan efektivitas.
4. Posisi : tempatkan klien pada posisi
yang nyaman dan semi fowler.
5. Pantau respirasi : kumpulkan dan
analisa data pasien untuk meyakinkan kepatenan jalan nafas dan efektifitas
pemberian oksigen.
|
1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan
efektivitas respirasi.
2. Pasien yang mengalami penurunan
kesadaran beresiko terjadi aspirasi saliva dan pemberian oksigen tambahan
diindikasikan dengan jalan nafas yang bersih.
3. Kerusakan otak irreversible bisa terjadi
bila periode apneu terjadi lama dan kebutuhan oksigen tidak terpenuhi.
4. Posisi supine meningkatkan resiko
obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka klien akan mengalami
aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan
ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
5. Bunyi nafas abnormal ( crackles,
gurgles) indikasi utama terjadinya komplikasi hipoventilasi. Peningkatan
frekuensi nafas, takipneu, sianosis atau
kelemahan indikasi hipovolemia. Deteksi dini dan pelaporan segera
menunjang penanganan secara cepat.
|
b.
Ansietas b.d prosedur
pembedahan, prosedur preoperative.
Criteria evaluasi :
1) Klien akan menunjukan kemampuan focus pada
pengetahuan baru dan skill
2) Identifikasi gejala sebagai indicator
kecemasan sendiri
3) Tidak menunjukan prilaku agresiv
4) Berkomunikasi dan penanganan perasaan
negative dengan tepat
5)
Rileks dan nyaman dalam
beraktivitas
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor klien tanda dan gejala insietas
saat pengkajian keperawatan
2. Fokuskan diskusi pada stressor yang
mempengaruhi kondisi pasien
3. Diskusikan persepsi klien akan prosedur
pembedahan, ketakutan yang berhubungan dengan operasi
4. Berikan informasi prosedur sebelum
operasi, penyakit klien, dan persiapan operasi.
|
1. Pengkajian seksama kondisi pasien dengan
ansietas memungkinkan perawat membuat priorotas perawatan.
2. Focus diskusi memfasilitasi kemampuan
pasien untuk menyatakan ketakutan dan perasaan yang dirasakan dan membengun
hubungan terapeutik.
3. Diskusi akan persepsi dan ketakutan
membuat pasien mengekspresikan diri sendiri dan mengeksplore pengetahuannya.
4. Tindakan untuk menambah pengetahuan dan
reduksi ansietas.
|
c. Resiko terhadap infeksi b.d penurunan
motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan.
Criteria evaluasi :
1) Temperature/suhu normal ( 360C
– 370C )
2) WBC dalam keadaan normal
3) Tidak menunjukan tanda-tanda infeksi :
nyeri, kemerahan, peningkatan suhu, bengkak, terganggunya fungsi
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Biasanya langsung sebelum pembedahan dimulai
2.
Kaji infeksi pernafasan :
-
Auskultasi
paru-paru setiap 2 jam dan
identifikasi bunyi nafas normal
-
Kaji
sputum, warna, konsistensi, jumlah.
-
Observasi peningkatan
temperatur dan WBC
3. Observasi luka pembedahan setiap hari
untuk tanda2 dan gejala infeksi seperti kemerahan, edema, nyeri, drainage, peningkatan
suhu. Juga observasi tanda2 infeksi sistemik antara lain demam, lemah,
leukositisis atau takikardi
4.
Monitor
tanda2 peritonitis pada klien, seperti peningkatan temperatur, nyeri, hebat,
mual dan muntah, positif kernig’s dan brudzinski’s, potopobia, iritabilitas. Barengi dengan CT scan dan fungsi lumbal.
|
1. Infeksi luka terjadi 0,7-5,7 % dalam
bedah saraf.
2. Proses pembedahan dapat mendorong
terjadinya atelektasis dam hipoksia. Dehidrasi menyebabkan sputum kering
sehingga peningkatan pnemonia
3. Kulit kpala nekrosis, wound dehiscence,
kebocoran CSF, ketidaklancaran drain, terjadinya gatal-gatal dan perubahan
pada klien dan faktor lingkungan meningkatkan resiko infeksi pada luka pasien
poscraniotomi.
4. Klien yang beresiko terjadinya akut inflamatori
meningitis dalam otak atau spinal cord yaitu luka kranial atau spinal yang
infeksi
|
d.
Gangguan body image b.d pembedahan, situasi krisis :
Criteria hasil :
1) Klien akan dapat mengidentifikasikan
kekuatan personal
2) Mengetahui situasi dan hubungan personal
dan gaya hidup
3) Mempertahankan interaksi social dan
hubungan personal
4) Pengetahuan actual dalam perubahan
anggota tubuh
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal
dan non verbal mengenai tubuhnya.
2. Bantu klien untuk adaptasi mempersepsikan
stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya
hidup.
3. Siapkan klien untuk antisipasi krisis
perkembangan atau situasi.
4. Dorong persepsi dan tingkah laku
positif terhadap tubuh
|
1. Klien mungkin takut atau salah paham
akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan
pasien.
2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan
menolong klien menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan.
3. Intervensi spesifik untuk
meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat klien merasakan
ketidaksadaran akan dirinya.
4. Tindakan memberi stimulasi dan koping
adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh.
|
e. Inefektif pola nafas b.d nyeri,
immobilisasi.
Criteria
hasil :
1) Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam
batas normal
2) Kepatenan jalan nafas adekuat
3) Status tanda-tanda vital dalam batas
normal.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas
2. Kaji pucat dan sianosis
3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan
4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya
bunyi nafas tambahan
5. Posisikan klien dengan semi fowler
6. Suction sesuai kebutuhan
|
1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan
efektivitas respirasi.
2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan
adanya pucat dan sianosis
3. Hipoventilasi berhubungan dengan
penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial.
4. Crackels mengindikasikan komplikasi
sistem pernafasan.
5. Posisi supine meningkatkan resiko
obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami
aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan,
pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola
nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan
nafas.
|
f. Resiko konstipasi b.d penurunan aktifitas,
penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi.
Criteria
evaluasi :
1) Menggambarkan perbaikan diet (cairan dan
serat) yang tepat untuk mempertahankan pola BAB seperti biasa.
2) Menunjukan hidrasi adekuat (turgor kulit
baik, intake cairan sesuai dengan output)
3) Melaporkan saat BAB tidak nyeri dan
kesulitan dalam mengejan.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Dokumentasikan pola bab, aktifitas dan medikasi.
2. Kaji dan dokumentasikan post operatif :
-
warna dan konsistensi BAB
-
flatus
-
ada
atau tidaknya bising usus dan distensi abdomen.
3. Informasikan pada klien kemungkinan
pemberian obat untuk mengatasi konstipasi
4. Jelaskan efek cairan dan serat untuk
pencegahan konstipasi.
5. Berikan privasi dan keamanan bagi klien
pada saat BAB.
|
1. Indicator kembalinya fungsi gastrointestinal,
mengidentifikasi ketepatan intervensi.
2. Pendidikan kesehatan dalam penjelasan
prosedur pemberian tindakan
3. Tindakan motivasi untuk melakukan
konsumsi cairan dan serat untuk
4. Meningkatkan
konsistensi feses dan pengeluaran feses.
5. Penjagaan privasi memberikan kenyamanan
dalam BAB
|
g. Ketakutan b.d stressor lingkungan atau
hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi.
Kriteria evaluasi :
Pasien akan menunjukan
kontrol ketakutan dengan sarana sebagai berikut :
1) Informasi adekuat untuk mengurangi
ketakutan.
2) Hindari penyebab takut
3) Gunakan teknik relaksasi
4) Pertahankan peran sosial dan hubungan
personal
5) Menjadi produktif.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji secara subjektif dan objektif
mengenai respon ketakutan
2. Informasikan kepada klien mengenai
penyakit, proses perjalanan penyakit, komplikasi dan penanganan.
3. Sediakan perawatan segera, jelaskan
intervensi untuk klien dengan bentuk singkat
4. Manajemen lingkungan dengan menjaga
stabilitas lingkungan, keamanan dan kenyamanan.
5. Dorong verbalisasi mengenai perasaan
akan perubahan status kesehatan.
6. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai
indikasi
|
1. Keadaan yang ada pada pasien dengan
ketakutan dapat mengakibatkan isolasi diri.
2. Wawasan tambahan bagi keluarga dan klien
sehingga dapat berpartisipasi dalam penanganan pemulihan pasien.
3. Penanganan segera menurunkan resiko
isolasi sosial dan informasi prosedur perawatan membantu untuk mengatasi
ketakutan.
4. Stabilitas lingkungan menunjang
menurunkan stressor lingkungan
5. Tindakan motivasi pengungkapan
perasaan sebagai indikator hubungan terapeutik
6. Penggunaan agen pharmacologi untuk
meningkatkan istirahat dan mengurangi ansieas
|
h.
Kekurangan volume cairan b.d
kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal.
Criteria hasil :
1) Menunjukan level elektrolit, BUN,
hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal.
2)
Urine output dalam batas normal
3)
Hasil hemodinamika dalam batas
normal
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor dan perbaiki intake output,
antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine
setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut :
-
urine output lebih dari
200ml/jam selama 2 jam
-
urine output kurang dari
30ml/jam selama 2 jam
2. Monitor hasil laboratorium sesuai
indikasi. Laporkan sebagai berikut :
-
osmolalitas
urine, kurang dari 200mOsm/kg
-
osmolalitas
serum, lebih dari 300 mOsm/kg
-
serum
sodium, lebih dari 145 mEq/L
-
peningkatan level BUN dan
hematokrit
3.
Monitor
ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan
adanya :
-
Adanya
gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.
-
Tekanan hemodinamika kardiak
output rendah
4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya
cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium
rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika
hipertermia atau adanya infeksi.
|
1.
Terapi
diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan
cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt
mendeteksi kekurangan.
-
urine
output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan
peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary
dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena
neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi
vaskuler atau trauma kepala berat.
-
Indikasi adanya deficit
volume cairan
2. Hasil laboratorium menambah keadaan
objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan
dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit
menunjukan hemokonsentrasi.
3. Pemantauan secara periodic menunjang
peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal.
-
Tanda
ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan
hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium.
-
Penurunan
tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan
preload insuffisiensi.
4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan
untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat
digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload
volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena
pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan
hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena
peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui
pernafasan.
|
i.
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan b.d nausea dan vomiting, pembatasan diet.
Kriteria
hasil :
1) Klien akan menunjukan berat badan normal
sesuai kondisi.
2) Status nutrisi : keseimbangan diet
intake makanan dan cairan
3) Mempertahankan body mass
4) Memiliki nilai laboratorium dalam batas
normal (albumin, transferrin, dan elektrolit)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan klien diet tinggi protein,
sesuai kebutuhan
2. Monitor hasil laboratorium khususnya
transferrin, albumin dan elektrolit
3. Tentukan kemampuan klien untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan
deit intake makanan dan cairan
5. Fasilitasi penambahan berat badan
6. Berikan magnesium sulfate sesuai
indikasi
|
1. Diet tinggi protein membantu
mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi.
2. Pengkajian penunjang yang essensial
untuk mengetahui evaluasi status nutrisi klien.
3. Identifikasi bantuan parsial atau
total dalam pemenuhan kebutuhan diri/ adl
4. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi
dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake
efektif.
5. pengkajian dasar menentukan terpenuhi/
tidak kebutuhan nutrisi.
6. Magnesium sulfate meningkatkan
efektifitas thiamine.
|
j.
Kerusakan
membrane mukosa mulut b.d nasogastrik tube
Kriteria
evaluasi :
1) Klien akan menunjukan kenyamanan dalam
makan dan minum.
2) Integritas kulit dan mukosa membrane
(bebas dari lesi jaringan, sensasi normal).
3)
Hygiene mulut baik.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Identifikasi factor iritasi seperti
alcohol, makan, rokok, medikasi, temperature makanan yang terlalu panas.
2. Kaji pemahaman kliien dan kemampuan
untuk perawatan mulut.
3. Berikan perawatan mulut setelah makan
sesuai kabutuhan.
4. Anjurkan untuk menghindari merokok dan
konsumsi alcohol.
|
1.
Iritasi memperberat kerusakan
membrane mukosa sehingga control terhadap factor harus dilakuakan
2. Tindakan evaluasi pengetahuan dan
aplikasi kebiasaan perawatan mulut
3. Perawatan mulut mereduksi resiko infeksi
dengan pertahanan sirkulasi untuk membrane mukosa dan penurunan bakteri mulut.
4. Alcohol, dan nikotin memproduksi plak
digigi dan membuat kering serta iritasi mukosa.
|
k. Gangguan nyaman nyeri b.d insisi, distensi
abdomen, immobilisasi.
Kriteria evaluasi :
1) kliien akan menunjukan teknik relaksasi
individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan level nyeri pada skala
nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10)
3) Melaporkan keadaan fisik dan piskis
sudah membaik
4) Penggunaan analgesik dan analgesik untuk
menghilangkan nyeri
5) Mengakui faktor penyebab sehingga dapat
menggunakan pengukuran untuk mencegah nyeri akibat
Intervensi
|
Rasional
|
1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi
2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan
dengan skala 0 – 10.
3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas
dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik.
4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri
termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau
kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus.
5. Observasi secara verbal atau nonverbal
ketidaknyamanan.
6. Instruksikan klien untuk melaporkan
nyeri bila sangat hebat.
7. Informasikan klien prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif.
|
1. Agen farmakologik untuk menurunkan/
menghilangkan nyeri.
2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial
diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan.
3. Manajemen pengalihan fokus perhatian
nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki
perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.
4. Laporan klien merupakan indikator
terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada klien dewasa. Baru
atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera.
5. Respon verbal dapat menjadi indikasi
adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan
kondisi nyeri.
6. Partisipasi langsung dalam penanganan
dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan.
7. Tindakan persiapan kondisi klien
sebelum prosedur dan membantu klien menetapkan koping sehubungan dengan
kebutuhan penanganan stres akibat nyeri.
|
l.
Inefektif
disfungsi seksual b.d nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image.
Criteria evaluasi :
1) Klien akan menunjukan kemauan
mendiskusikan perubahan fungsi seksual.
2) Meminta informasi yang dibutuhkan tentang
perubahan fungsi seksual.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor indicator resolusi disfungsi
seksual (kapasitas intimasi)
2. Berikan informasi yang tepat untuk
mengatasi disfungsi seksual (pasoman antisipasi, materi adukasi, latihan
reduksi stress,focus konseling)
3. Diskusikan penyakit, situasi sehat, dan
medikasi yang berpengaruh terhadap seksualitas.
4. Bantu klien untuk menyatakan perasaan
akan perubahan seksualitas akibat sakitnya.
|
1. Perubahan status kesahatan /
hospitalisasi berpengaruh pada hubungan seksualitas, menggali factor penyebab
disfungsi.
2. Informasi actual merubah persepsi dan
menurunkan tingkat kecemasan akan perubahan.
3. Evaluasi pengetahuan mengenai penyakit
dan pengaruh terhadap hubungan seksualitas pasien.
4. Berbagi perasaan dapat membantu
mengatasi pertahanan diri selama proses perubahan yang ahrus dialami.
|
m. Kerusakan integritas kulit b.d insisi
pembedahan, perubahan sensasi.
Criteria
evaluasi:
1) Klien akan menunjukan perwatan optimal
kulit dan luka secara rutin
2) Menunjukan intgritas kulit dan membrane
mukosa adekuat ( temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan
warna)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor karakteristik luka meliputi
lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik,
ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan
sushu, penurunan fungsi)
2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care)
luka dengan teknik steril
3. Minimalisir penekanan pada bagian luka
4. Evaluasi factor yang meningkatkan
kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi,
penurunan sensasi.
|
1. Permulaan pengkajian yang merupakan
langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat
menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan
perawatan
2. Pencegahan komplikasi luka terhadap
kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka.
3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan
salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang
4. klien dengan kondisi post pembedahan
beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran
pencegahan dan penanganan dini.
|
n.
Inefektif perfusi jaringan
(gastrointestinal) b.d interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia.
Criteria evaluasi :
1) Klien akan menunjukan intake nutrisi dan
cairan adekuat
2) Melaporkan kecukupan energi
3) Eliminasi BAB dalam keadaan normal (warna,
jumlah, konsistensi dan pola)
4) Status sirkulasi adekuat (perfusi jaringan perifer adekuat, TD dalam
batas normal, tidak terjadi distansi vena juguralis)
5) Menunjukan hidrasi yang normal (tidak
terjadi asites dan udema perifer, abnormal haus tidak terjadi, demam tidak ada)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor tanda-tanda vital
2. Monitor level serum elektrolit
3. Jaga laporan akuran mengenai intake dan
output
4. Kaji tanda-tanda perubahan keseimbangan
cairan dan elektrolit, membrane mukosa, sianosis.
5. Pantau status nutrisi dengan menimbnag
berat badan setiap hari.
6. Berikan tambahan cairan dan elektrolit
sesuai indikasi
Pasang NGT jika diperlukan
|
1. Peningkatan nadi, respirasi, tekanan
darah dan suhu menunjukan hipovolemia sehingga mengakibatkan kekurangan
volume cairan
2. Evaluasi keakuratan data untuk
perancanaan tindakan keperawatan yang komprehensif
3. Identifikasi status keseimbangan
cairan dan elektrolit. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume
cairan dan kekurangan yang bisa
mengakibatkan syok hipovolemik.
4. Tindakan mengontrol keadaan nutrisi
untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan energi atau malnutrisi
5. Penggantian cairan dan elektrolit
apabila terjadi syok hipivolemik
6. Sarana bagi pasien yang tidak mampu
intake nutrisi dari oral
|
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilyn E et al. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC.
Holloway, Nancy. 2004. Nursing
Care Plane. Philadelpia: Lippincott.
Lewis, Heitkamper Dirksen. 2000.
Medical Surgical Nursing Assesment and Management Of Clinical Problems. New
Jersey: Mosby.
Lemone, Priscilla and Burke, Karen.2004. Medical Surgical Nursing Critical Thinkhing In Client Care Third
Eddition. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Mansjoer, Arif dkk. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke tiga, Jilid ke dua. Jakarta: Media
Aesculapius.
Monahan, Frances Donovan, Neighbors, Marriane. 1998. Medical Surgical Nursing Foundation For
Clinical Practice 2nd Edition. Philadelphia: W.B Sounders
Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar