Jumat, 26 April 2013

askep difteri

LAPORAN  PENDAHULUAN DIFTERI
KONSEP DASAR


A.  Pengertian
  1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
  2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
  3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).
  4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtriae (Rampengan, 1993).
  5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
  6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
  7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
  8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).



B. Etiologi dan klasifikasi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi  oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat  bakteri Corynebacterium diphteriae :
  1. Gram positif
  2. Aerob
  3. Polimorf
  4. Tidak bergerak
  5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60ยบ C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni  dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
  1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
  2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
  1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
  2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
  3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai  dengan gejala komplikasi  seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut  bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
  1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
  1. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
  1. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
  1. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

  1. C.    Patofisiologi
 Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat  peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan  oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang  terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
  1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
  2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
  3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
  4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.











Corynebacterium diphteriae
Pathway Keperawatan





  1. D.    Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
  1. Demam yang tidak terlalu tinggi
  2. Denyut jantung cepat
  3. Lesu dan lemah
  4. Menggigil
  5. Mual muntah
  6. Nyeri saat menelan dan anoreksia
  7. Pucat
  8. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
  9. Sakit kepala
  10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
  11. Sesak nafas
  12. Serak

  1. E.     Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut  Rampengan (1993) yaitu :
  1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman  Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
  1. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya,  bronkopneumonia dan atelektasis.
  1. Sistemik
    1. Kardiovaskuler
1)      Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau  adanya aritmia  menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a)      Gangguan kondiksi .
b)      Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c)      Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2)      Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a)      Timbul setelah masa laten
b)      Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c)      Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
  1. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1)      Paralisis atau parese palatum mole
a)      Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b)      Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c)      Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2)      Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3)      Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal.
4)      Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
  1. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak.

  1. F.     Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
  1. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
  2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
  3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
  4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
  5. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
  6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.




G.    Penatalaksaan
  1. Penatalaksanaan medis
    1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
  1. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
1)      Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
2)      Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3)      Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.
  1. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).

  1. H.    Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
  1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga  disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
  1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
  1. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi.
  1. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.



  1. I.       Pemeriksaan Penunjang
    1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
    2.  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
    3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
    4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
    5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
    6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
    7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIFTERI

  1. A.    Pengkajian
            Menurut Doenges (1994), pengkajian pada pasien difteri meliputi :
  1. Aktivitas / istirahat
    1. Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    2. Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
    3. Fatigue.
    4. Insomnia.
    5. Berat badan menurun.
    6. Sirkulasi
      1. Nadi meningkat, takikardi.
      2.  Aritmia.
      3. Nutrisi
        1. Anoreksia
        2. Sulit menelan / sakit.
        3. Turgor kulit menurun
        4. Edema laring, faring
        5. Berat badan menurun.
        6. Pernafasan
          1. Sulit bernafas
          2. Produksi sputum meningkat.
          3. Dypsneu.
          4.  Pada tenggorok ada luka.
          5.  Edema mukosa laring, faring.
          6. Pembesaran kelenjar getah bening leher.
          7. Pernafasan cepat dan dangkal.
          8. Dada : penggunaan otot bantu pernafasan.
Auskultasi : terdengar wheezing.
  1. Interaksi sosial
    1. Merasa tergantung.
    2. Pembatasan mobilitas fisik
    3. Data Penunjang
      1. Laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium difteri.
      2. EKG : Low voltage, depresi segment ST, gelombang T terbalik.

  1. B.     Diagnosa
    1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
    2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
    3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
    4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
    5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anaknya.
    6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
    7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
    8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
    9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

B . Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang ditunjukan dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
  1. Frekuensi pernafasan dbn
  2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
  3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
  4. Tidak ada suara nafas tambahan
  5. Bernafas mudah
  6. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
  1. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
  2. Pertahankan jalan nafas yang paten
  3. Monitor aliran oksigen
  4. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
  5. Monitor adanya suara nafas tambahan

Dx 2 : Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi selama 1 X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan dengan status nutrisi berskala 4.
NOC : Status nutrisi
  1. Laporkan nutrisi adekuat
  2. Masukan makanan dan cairan adekuat
  3. Energi adekuat
  4. Massa tubuh normal
  5. Ukuran biokimia normal
Skala
Skala 1 = Sangat berbahaya
Skala 2 = Berbahaya
Skala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4 =Sedikit berbahaya
Skala 5 = Tidak berahaya
NIC : Terapi Nutrisi
  1. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan kalori tiap hari
  2. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan budaya dan keyakinannya
  3. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT
  4. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak
  5. Dorong masukan makanan tinggi kalsium

Dx 3:         Nyeri akut berhubungan dengan  proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan  manajemen nyeri dan manajemen analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang atau hilang yang ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan skala nyeri menurun, dengan skala 4.
NOC I : Kontrol nyeri
  1. Ketahui faktor penyebab nyeri
  2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri
    1. Gunakan tindakan pencegahan
    2. Gunakan analgetik secara tepat
    3. e.  Laporkan gejala
      1.  Laporkan kontrol nyeri
NOC II : Tingkat Nyeri
  1.    Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
  2. Frekuensi nyeri berkurang
    1.    Lama nyeri berlangsung
    2. Ekspresi wajah saat nyeri
Skala
Skala 1= Tidak terasa nyeri
Skala 2 = Jarang terasa nyeri
Skala 3 =Kadang-kadang terasa nyeri
Skala 4 = Sering terasa nyeri
Skala 5 =Terus-menerus terasa nyeri
NIC I  : Manajemen Nyeri
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri
  2. Observasi ketidaknyamanan non verbal
  3. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi music dan distraksi
  4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan
  5. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen analgetik
  1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati pasien
  2. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian analgetik
  3. Cek mengenai riwayat alergi obat.
  4. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik, NSAID) di samping tipe dan tingkat nyeri.
  5. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.
  6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik.
Dx 4: Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan  tentang selama 1 X24 jam diharapkan koping keluarga menjadi efektif  ditunjukkan dengan koping keluarga berskala 4.
NOC  : Koping Keluarga
  1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
  2. Tidak ada depresi
  3. Mampu mengelola masalah
  4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu
Skala
Skala 1= Sangat berbahaya
Skala 2= Berbahaya
Skala 3= Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4= Sedikit berbahaya
Skala 5=Tidak berahaya
NIC  :  Family Support
  1. Dengarkan perasaan keluarga.
  2. Bangun hubungan kepercayaan dengan keluarga.
  3. Sediakan keluarga informasi tentang perkembangan pasien.
  4. Sertakan anggota keluarga untuk mermbuat keputusan tentang perawatan pasien.
  5. Gunakan mekanisme koping adaptif.
  6. Hargai dan dukung mekanisme koping yang adaptif yang digunakan oleh keluarga.
  7. Sediakan umpan balik untuk memperhatikan koping keluarga.
  8. Konsultasikan dengan anggota keluarga untuk menambahkan koping yang efektif.



Dx 5 : Kecemasan keluarga berhubungan dengan status kesehatan anaknya.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengenai teknik menurunkan cemas selama 1 X 24 jam diharapkan kecemasan keluarga  berkurang ditunjukan dengan kontrol cemas berskala 4.
NOC  : Kontrol Cemas
  1. Monitor intensitas cemas
  2. Hilangkan penyebab cemas
  3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
  4. Cari informasi untuk menurunkan cemas
  5. Gunakan strategi koping yang efektif
  6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas
Skala :
Skala 1 = tidak pernah dilakukan
Skala 2 = jarang
Skala 3 = kadang-kadang
Skala 4 = sering
Skala 5 = selalu dilakukan
NIC : Menurunkan Cemas
  1. Ciptakan hubungan saling percaya
  2. Kaji tingkat kecemasan
  3. Anjurkan keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat.
  4. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama
  5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
  6. Anjurkan  keluarga untuk menyampaikan tentang isi perasaannya.

Dx 6.         :Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dan keluarganya dapat mengerti atau  lebih paham mengenai penyakitnya ditunjukkan dengan Proses openyakit berskala 4.
NOC : Proses Penyakit
  1. Kenal nama penyakit
  2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
  3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
  4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala  penyakit
  5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
  6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
Skala
Skala 1 = Tidak mengetahui
Skala 2 = Terbatas pengetahuannya
Skala 3 = Sedikit mengetahui
Skala 4 = Banyak pengetahuannya
Skala 5 = Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pendidikan Kesehatan
  1. Identifikasi faktor dalam atau luar untuk menambah / meningkatkan motivasi mengenai tingkah laku kesehatannya.
  2. Tentukan hubungan individu dengan latar belakang sosial budaya pada individu, keluarga atau masyarakat mengenai tingkah laku kesehatannya.
  3. Hindari menggunakan teknik menakut-nakuti untuk memotivasi orang mengubah tngkah laku / gaya hidup sehatnya.
  4. Kembangkan materi pendidikan dengan penulisan masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama (difteri)
  5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
Dx 7 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen jalan nafas selama 1 x 24 jam  diharapkan bersihan jalan nafas  pasien  efektif  ditunjukkan dengan Airway patency berskala 4.
NOC : Airway patency
  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
  2. Menunjukakan jalan nafas yang paten
  3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Air way management
  1. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
  2. Auskultasi suara nafas
  3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
  4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
  5. Moniror respirasi dan starus O2
  6. Lakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan sekret

Dx 8 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang tentang pengendalian infeksi selama 1 x 24 jam  diharapkan infeksi pada pasien  tidak terjadi  ditunjukkan dengan  pasien terhindar dari infeksi dengan skala 4.

NOC : Pengendalian resiko
  1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
  2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengendalian infeksi
  1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
  2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
  3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi.
  4. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
  5. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Dx. 9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan  tentang manajemen energi selama 1 X 24 jam diharapkan  pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan ditunjukkan dengan konservasi energi berskala 4..
NOC : Konservasi energi
  1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
  2. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
NIC : Managemen Energi
  1. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
  2. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
  3. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
  4. Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas
  5. Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
  6. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.





C .  Evaluasi
Kriteria Hasil
Skala
Dx  1
  1. Frekuensi pernafasan dbn                                                                                                                                                                     4
  2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan                                                                                                                               4
  3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.                                                                                                                                            4
  4. Tidak ada suara nafas tambahan                                                                                                                                                       4
  5. Bernafas mudah                                                                                                                                                                                         4
  6. Tidak ada dyspnea                                                                                                                                                                                   4
4
4
4
4
4
4
Dx 2
  1. Laporkan nutrisi adekuat                                                                4
  2. Masukan makanan dan cairan adekuat                                    4
  3. Energi adekuat                                                                                     4
  4. Massa tubuh normal                                                                           4
  5. Ukuran biokimia normal                                                                  4
4
4
4
4
4
Dx 3 1.Ketahui faktor penyebab nyeri                                                     4
2.Ketahui permulaan terjadinya nyeri                                           4
3. Gunakan tindakan pencegahan                                                   4
4.Gunakan analgetik secara tepat                                                   4
  1.  Laporkan gejala                                                                                  4
  2.  Laporkan kontrol nyeri                                                                   4
  3.  Melaporkan nyeri berkurang atau hilang                                4
  4. Frekuensi nyeri berkurang                                                              4
4
4
4
4
4
4
4
4
Dx 4
  1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
  2. Tidak ada depresi
  3. Mampu mengelola masalah
  4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu

4
4
4
4
Dx 5
  1. Monitor intensitas cemas
  2. Hilangkan penyebab cemas
  3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
  4. Cari informasi untuk menurunkan cemas
  5. Gunakan strategi koping yang efektif
  6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas
4
4
4
4
4
4
Dx 6
  1. Kenal nama penyakit
  2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
  3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
  4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala  penyakit
  5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
  6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
4
4
4
4
4
4
4
Dx 7
  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
  2. Menunjukakan jalan nafas yang paten
  3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas
4
4
4
Dx 8
  1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
  2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
4
4
4
4
Dx 9
  1. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  2. Mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  3. Mekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
  4. Merpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
  5. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri
4
4
4
4
4
4





DAFTAR PUSTAKA
Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com.  7 juni 2008.www.medicastrore.com

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008

Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.
www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7 juni 2008

Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC

Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.

Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008

Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto. Keperawatan

Selasa, 23 April 2013

EKLAMSI POST PARTUM

Eklamsi Post Partum

Pengertian
Eklamsi adalah Penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil dan dalam nifas dengan hipertensi, oedema dan proteinuria (Obtetri Patologi,R. Sulaeman Sastrowinata, 1981 ).

Insiden
Eklamsi lebih sering terjadi pada primigravidarum dari pada multipara (Obtetri Patologi,R. Sulaeman Sastrowinata, 1981 ).

Patofisiologi
Peredarah dinding rahim berkurang(ischaemia rahim)

Placenta atau decidua mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan spasme (ischaemia uteroplacenta) dan hipertensi

Eklamsi


Mata terpaku
Kepala dipalingkan ke satu sisi
Kejang-kejang halus terlihat pada muka
(Invasi)


 


Badan kaku
Kadang episthotonus
(Kontraksi/Kejang Tonis)


 


Kejang hilang timbul
Rahang membuka dan menutup
Mata membuka dan menutup
Otot-otot badan dan muka berkontraksi dan berelaksasi
Kejang kuat terjadi dan kadang lidah tergigit
Ludah berbuih bercampur darah keluar dari mulut
Mata merah, muka biru
(Konvulsi/KejangClonis)
-Tensi tinggisekitar 180/110 mmHg
-Nadi kuat berisi-keadaan buruk nadi menjadi kecildan cepat
Demam,Pernafasan cepat, sianosisProteinuria dan oedema

Coma
Amnesia retrigrad post koma


Prognosis
Koma lama
Nadi diatas 120
Suhu diatas 39°c
Tensi diatas 200 mmHg
Lebih dari 10 serangan
Proteinuria 10 gram sehari atau lebih
Tidak adanya edema
(Gejala-gejala yang memberatkan Prognosa Oleh Eden)
* Oedema paru dan apopleksi merupakan keadaan yang biasanya mendahului kematian.
* Jika deuresi lebih dari 800  cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa agak membaik.
* Sebaliknya oliguri dan uri merupakan gejala yang buruk.
* Multipara  usia diatas 35 keadaan waktu MRS mempengaruhi prognosa lebih buruk.

Pemeriksaan
Involusi adalah perubahan yang merupakan proses kembalinya alat kandungan atau uterus dan jalan lahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti sebelum hamil.
Proses involusi terjadi karena adanya:
Autolysis yaitu penghancuran jaringan otot-otot uterus yang tumbuh karena adanya hiperplasi, dan jaringan otot yang membesar menjadi lebih panjang sepuluh kali dan menjadi lima kali lebih tebal dari sewaktu masa hamil akan susut kembali mencapai keadaan semula. Penghancuran jaringan tersebut akan diserap oleh darah kemudian dikeluarkan oleh ginjal yang menyebabkan ibu mengalami beser kencing setelah melahirkan.
Aktifitas otot-otot yaitu adanya kontrasi dan retraksi dari otot-otot setelah anak lahir yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya pelepasan plasenta dan berguna untuk mengeluarkan isi uterus yang tidak berguna. Karena kontraksi dan retraksi menyebabkan terganggunya peredaran darah uterus yang mengakibatkan jaringan otot kurang zat yang diperlukan sehingga ukuran jaringan otot menjadi lebih kecil.
Ischemia yaitu kekurangan darah pada uterus yang menyebabkan atropi pada jaringan otot uterus.
Involusi pada alat kandungan meliputi:
Uterus
Setelah plasenta lahir uterus merupakan alat yang keras, karena kontraksi dan  retraksi otot-ototnya.        
Perubahan uterus setelah melahirkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Tabel Perubahan Uterus Setelah melahirkan

Involusi

TFU

Berat Uterus
Diameter Bekas Melekat Plasenta

Keadaan Cervix
Setealh pladsenta lahir
1 minggu

2 minggu
6 minggu

8 minggu
Sepusat

Pertengahan pusat symphisis
Tak teraba
Sebesar hamil 2 minggu
Normal
1000 gr

500 gr

350 gr
50 gr

30 gr
12,5

7,5 cm

5 cm
2,5 cm


Lembik

Dapat dilalui 2 jari

Dapat dimasuki 1 jari

Sumber: Rustam muchtar, 1998

Involusi tempat plasenta
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh trombus. Luka bekas implantasi plasenta tidak meninggalkan parut karena dilepaskan dari dasarnya dengan pertumbuhan endometrium baru dibawah permukaan luka. Endometrium ini tumbuh dari pinggir luka dan juga sisa-sisa kelenjar pada dasar luka. (Sulaiman S, 1983l: 121)
Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh darah yang besar, tetapi karena setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah yang banyak maka arteri harus mengecil lagi dalam masa nifas.
Perubahan pada cervix dan vagina
Beberapa hari setelah persalinan ostium eksternum dapat dilalui oleh 2 jari, pada akhir minggu pertama dapat dilalui oleh  1 jari saja. Karena hiperplasi ini dan karena karena retraksi dari cervix, robekan cervix jadi sembuh. Vagina yang  sangat diregang waktu persalinan, lambat laun mencapai ukuran yang normal. Pada minggu ke 3 post partum ruggae mulai nampak kembali.
Rasa sakit yang disebut after pains  ( meriang atau mules-mules) disebabkan koktraksi rahim biasanya berlangsung 3 – 4 hari pasca persalinan. Perlu diberikan pengertian pada ibu mengenai hal ini dan bila terlalu mengganggu analgesik.( Cunningham, 430)

Lochia
Lochia adalah cairan yang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam masa nifas. Lochia bersifat alkalis, jumlahnya lebih banyak dari darah menstruasi. Lochia ini berbau anyir dalam keadaan normal, tetapi tidak busuk.
Pengeluaran lochia dapat dibagi berdasarkan  jumlah dan warnanya yaitu lokia rubra berwarna merah dan hitam terdiri dari sel desidua, verniks kaseosa, rambut lanugo, sisa mekonium, sisa darah dan keluar mulai hari pertama sampai hari ketiga.
Lochia sanginolenta berwarna putih bercampur merah , mulai hari ketiga sampai hari ketujuh.
Lochia serosa berwarna kekuningan dari hari ketujuh sampai hari keempat belas.
Lochia alba berwarna putih setelah hari keempat belas.(Manuaba, 1998: 193)
Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, biasanya akan pulih dalam 6 minggu. Ligamen fascia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu partus setelah bayi lahir berangsur angsur mengecil dan pulih kembali.Tidak jarang uterus jatuh ke belakang  menjadi retrofleksi karena ligamentum rotundum jadi kendor. Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan latihan-latihan pasca persalinan.( Rustam M, 1998: 130)
Sistim Kardiovasculer
Selama kehamilan secara normal volume darah  untuk mengakomodasi penambahan aliran darah yang diperlukan oleh placenta dan pembuluh darah uterus. Penurunan dari estrogen mengakibatkan  diuresis yang menyebabkan  volume plasma menurun secara cepat pada kondisi normal. Keadaan ini terjadi pada  24 sampai 48 jam pertama setelah kelahiran. Selama ini klien mengalami sering kencing. Penurunan progesteron membantu  mengurangi retensi cairan sehubungan dengan penambahan vaskularisasi jaringan selama kehamilan. ( V Ruth B, 1996: 230)
Ginjal
Aktifitas ginjal bertambah pada masa nifas karena reduksi dari volume darah dan ekskresi produk sampah dari autolysis. Puncak dari aktifitas ini terjadi pada hari pertama post partum.( V Ruth B, 1996: 230)
Sistim Hormonal
Oxytoxin
Oxytoxin disekresi oleh kelenjar hipofise posterior dan bereaksi pada otot uterus dan jaringan payudara. Selama kala tiga persalinan aksi oxytoxin menyebabkan pelepasan plasenta. Setelah itu oxytoxin beraksi untuk kestabilan kontraksi uterus, memperkecil bekas tempat perlekatan plasenta dan mencegah perdarahan. Pada wanita yang memilih untuk menyusui bayinya, isapan bayi menstimulasi ekskresi oxytoxin diamna keadaan ini membantu kelanjutan involusi uterus dan pengeluaran susu. Setelah placenta lahir, sirkulasi HCG, estrogen,  progesteron dan hormon laktogen placenta menurun cepat, keadaan ini menyebabkan perubahan fisiologis pada ibu nifas.
Prolaktin
Penurunan estrogen menyebabkan prolaktin yang disekresi oleh glandula  hipofise  anterior bereaksi pada alveolus payudara dan merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui kadar prolaktin terus tinggi dan pengeluaran FSH di ovarium ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui kadar prolaktin turun pada hari ke 14 sampai 21 post partum dan penurunan ini mengakibatkan FSH disekresi kelenjar hipofise anterior  untuk bereaksi pada ovarium yang menyebabkan pengeluaran estrogen dan progesteron dalam kadar normal, perkembangan normal folikel de graaf, ovulasi dan menstruasi.( V Ruth B, 1996: 231)
Laktasi
Laktasi dapat diartikan dengan pembentukan dan pengeluaran air susu ibu. Air susu ibu ini merupakan makanan pokok , makanan yang terbaik dan bersifat alamiah bagi bayi yang disediakan oleh ibu yamg baru saja melahirkan bayi akan tersedia makanan bagi bayinya dan ibunya sendiri.
Selama kehamilan hormon estrogen dan progestron merangsang pertumbuhan kelenjar susu sedangkan progesteron merangsang pertumbuhan saluran kelenjar , kedua hormon ini mengerem LTH. Setelah plasenta lahir maka LTH dengan bebas dapat merangsang laktasi.
Lobus prosterior hypofise mengeluarkan oxtoxin yang merangsang pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah reflek yang ditimbulkan oleh rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi. Rangsang ini  menuju ke hypofise dan menghasilkan oxtocin yang menyebabkan buah dada mengeluarkan air susunya.
Pada hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri. Ini menandai permulaan sekresi air susu, dan kalau areola mammae dipijat, keluarlah cairan puting dari puting susu.
Air susu ibu kurang lebih mengandung Protein 1-2 %, lemak 3-5 %, gula 6,5-8 %, garam 0,1 – 0,2 %.  
Hal yang mempengaruhi susunan air susu adalah diit, gerak badan. Benyaknya air susu sangat tergantung pada banyaknya cairan serta makanan yang dikonsumsi ibu. (Obstetri Fisiologi UNPAD, 1983: 318 )
Tanda-tanda vital
Perubahan tanda-tanda vital pada massa nifas meliputi:
Tabel 2.2 Tabel perubahan Tanda-tanda Vital
Parameter
Penemuan normal
Penemuan abnormal
Tanda-tanda vital
Tekanan darah < 140 / 90 mmHg, mungkin bisa naik dari tingkat disaat persalinan 1 – 3 hari post partum.
Suhu tubuh < 38 0 C
Denyut nadi: 60-100 X / menit
Tekanan darah > 140 / 90 mmHg


Suhu > 380 C
Denyut nadi: > 100 X / menit

2. Perubahan Psikologi
Perubahan psikologi masa nifas menurut Reva- Rubin terbagi menjadi dalam 3 tahap yaitu:
Periode Taking In
Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan.Dalam masa ini terjadi  interaksi dan kontak yang lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini dapat dikatakan sebagai psikis honey moon yang tidak memerlukan hal-hal yang romantis, masing-masing saling memperhatikan bayinya dan menciptakan hubungan yang baru.
Periode Taking Hold
Berlangsung pada hari ke – 3 sampai ke- 4 post partum. Ibu berusaha bertanggung jawab terhadap bayinya dengan berusaha untuk menguasai ketrampilan perawatan bayi. Pada periode ini ibu berkosentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya, misalnya buang air kecil atau buang air besar.
Periode Letting Go
Terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada masa ini ibu mengambil tanggung jawab terhadap bayi.( Persis Mary H, 1995)
Sedangkan stres  emosional pada ibu nifas kadang-kadang dikarenakan kekecewaan yang berkaitan dengan mudah tersinggung dan terluka sehingga nafsu makan dan pola tidur terganggu. Manifestasi ini disebut dengan post partum blues dimana terjadi pada hari ke 3-5 post partum.( Ibrahim C S, 1993: 50)


Perawatan Masa Nifas
Setelah melahirkan, ibu membutuhkan  perawatan yang intensif untuk pemulihan kondisinya         setelah proses persalinan yang melelahkan. Dimana perawatan post partum meliputi:
1. Mobilisasi Dini
Karena lelah sehabis melahirkan , ibu harus istirahat tidur telentang selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring kekanan kekiri untuk mencegah terjadinya trombosis dan trombo emboli. Pada hari kedua diperbolehkan duduk, hari ketiga jalan-jalan dan hari keempat atau kelima sudah diperbolehkan pulang. Mobilisasi diatas memiliki variasi tergantung pada komplikasi persalinan, nifas dan sembuhnya luka-luka.
Keuntungan dari mobilisasi dini adalah melancarkan pengeluaran lochia, mengurangi infeksi purperium, mempercepat involusi alat kandungan, melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan, meningkatkan kelancaran peredaran darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme.( Manuaba, 1998: 193)
2. Rawat Gabung
Perawatan ibu dan bayi dalan satu ruangan bersama-sama sehingga ibulebih banyak memperhatikan bayinya, segera dapat memberikan ASI sehingga kelancaran pengeluaran ASI lebih terjamin.( Manuaba, 1998: 193)
3. Pemeriksaan Umum
Pada ibu nifas pemeriksaan umum yang perlu dilakukan antara lain adalah  kesadaran penderita, keluhan yang terjadi setelah persalinan.
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan khusus pada ibu nifas meliputi:
Fisik : tekanan darah, nadi dan suhu
Fundus uteri :  tinggi fundus uteri, kontraksi uterus. 
Payudara :  puting susu, pembengkakan, pengeluaran ASI
Patrun lochia : Locia rubra, lochia sanginolenta, lochia serosa, lochia alba
Luka jahitan episiotomi           : Apakah baik atau terbuka, apakah ada tanda-tanda infeksi. ( Manuaba, 1998: 193)
5. Nasehat Yang Perlu diberikan saat pulang adalah:
Diit
Masalah diit perlu diperhatikan karena dapat berpengaruh pada pemulihan kesehatan ibu dan pengeluaran ASI. Makanan harus mengandung gizi seimbang yaitu cukup kalori, protein, cairan, sayuran dan buah-buahan.
Pakaian
Pakaian agak longgar terutama didaerah dada sehingga payudara tidak tertekan. Daerah perut tidak perlu diikat terlalu kencang karena tidak akan mempengaruhi involusi. Pakaian dalam sebaiknya yang menyerap, sehingga lochia tidak menimbulkan iritasi pada daerah sekitarnya. Kasa pembalut sebaiknya dibuang setiap saat terasa penuh dengan lochia,saat buang air kecil ataupun setiap buang air besar.
Perawatan vulva
Pada tiap klien masa nifas dilakukan perawatan vulva dengan tujuan untuk mencegah terjadinya inveksi di daerah vulva, perineum maupun didalam uterus. Perawatan vulva dilakukan pada pagi dan sore hari sebelum mandi, sesudah buang air kemih atau buang air besar dan bila klien merasa tidak nyaman karena lochia berbau atau ada keluhan rasa nyeri. Cara perawatan vulva adalah cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka, setelah BAK cebok ke arah depan dan setelah BAB cebok kearah belakang, ganti pembalut stiap kali basah atau setelah BAB atau BAK , setiap kali cebok memakai sabun dan luka bisa diberi betadin.
Miksi
Kencing secara spontan sudah harus dapat dilakukan dalam 8 jam post partum. Kadang kadang wanita sulit kencing, karena spincter uretra mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musculus spincter ani selama persalinan. Bila kandung kemih penuh dan wanita sulit kencing sebaiknya dilakukan kateterisasi. (Persis H, 1995: 288)
Defekasi
Buang air besar harus terjadi pada 2-3 hari post partum. Bila belum terjadi dapat mengakibatkan obstipasi maka dapat diberikan obat laksans per oral atau perektal atau bila belum berhasil lakukan klisma.( Persis H,1995: 288)
Perawatan Payudara
Perawatan payudara telah mulai sejak wanita hamil supaya puting susu lemas, tidak keras dan kering, sebagai persiapan untuk menyusui bayinya. Dianjurkan sekali supaya ibu mau menyusui bayinya karena sangat berguna untuk kesehatan bayi.Dan segera setelah lahir ibu sebaiknya menyusui bayinya karena dapat membantu proses involusi serta colostrum  mengandung zat antibody yang berguna untuk kekebalan tubuh bayi.( Mac. Donald, 1991: 430)
Kembalinya Datang Bulan atau Menstruasi
Dengan memberi ASI kembalinya menstruasi sulit diperhitungkan dan bersifat indifidu. Sebagian besar kembalinya menstruasi  setelah 4-6 bulan.
Cuti Hamil dan Bersalin
Bagi wanita pekerja menurut undang-undang berhak mengambil cuti hamil dan bersalin selama 3 bulan yaitu 1 bulan sebelum bersalin dan 2 bulan setelah melahirkan.
Mempersiapkan untuk Metode KB
Pemeriksaan post partum merupakan waktu yang tepat untuk membicarakan metode KB untuk menjarangkan atau menghentikan kehamilan. Oleh karena itu penggunaan metode KB dibutuhkan sebelum haid pertama kembali untuk mencegah kehamilan baru. Pada umumnya metode KB dapat dimulai 2 minggu setelah melahirkan.(Bari Abdul,2000:129)

Kemugkinan Diagnosa Yang Timbul
1. Resiko tinggi terjadinya cedera b/d kejang-kejang berulang
2. Resiko tinggi terjadi Asidosis respirasi b/d Kejang – kejang berulang
3. Resiko tinggi terjadi oliguri sampai anuri b/d hipovolaemi karena oedema meningkat
4. Resiko tinggi terjadi gangguan vasospasme pembuluh darah b/d hipotensi mendadak karena usaha penurunan tensi.

Rencana Tindakan Keperawatan
Dx. 1
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Perawatan resiko tinggi terjadinya cedera tidak terjadi dengan kriteria : tidak terjadi fraktur, pasien tidak jatuh, lidah tidak tergigit
Intervensi : - Fiksasi tidak terlalu kencang
- Pemasangan sudip lidah
R : Memberikan ruang gerak waktu kejang
     Menghalangi supaya lidah tidak tergigit
Dx 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Perawatan dan Medis resiko Asidosis respirasi tidak terjadi
Kriteria : Kejang berkurang, sianosis tidak ada, nafas 20 x/menit
Intervensi :- Berikan Obat anti kejang sesuai terapi Medis
Berikan Oksigen 2-6 liter/ menit
Observasi R/R dan Nadi
R : Memberikan ruang gerak bagi paru u/mengembang
     Membantu suplai oksigen sel jaringan tubuh
     Menilai pola nafas dan kerja jantung
Dx.3
Tujuan : Setelah dilakuakn tidakan perawatan Resiko oliguri sampai anuri tidak terjadi
Kriteria : Urine > 30 cc/jam
Intervensi : -Memperbaiki diuresi dengan pemberian glukose 5%-10 %
R : Sehingga terjadi pengenceran haemokonsentrasi

Dx.4
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan dan Medis resiko suplai zat-zat yang dibutuhkan sel tubuh menurun tidak terjadi.
Kriteria : -Tensi tidak boleh turun lebih dari 20 % dalam 1 jam (maksimal dari 200/120 mmHg menjadi 160/95 mmHg dalam 1 jam).
-Tekanan darah tidak boleh kurang dari 140/90 mmHg.
Intervensi : Observasi tensi dan Nadi pasien  setiap 1 jam
R : Supaya terjadi penurunan tensi secara berangsur-angsur sehingga suplai cukup sampai kejaringan dan organ-organ penting.

Daftra Pustaka

Persis Mary Hamilton, (1995), Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, EGC, Jakarta

R. Sulaeman Sastrawinata, (1981), Obstetri Patologi, Elstar Offset, Bandung.

------(1995), Ilmu Penyakit Kandungan UPF Kandungan Dr.Soetomo. Surabaya