Senin, 22 April 2013

ASKEP DIFTERI PADA ANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini  disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita
B.     Tujuan
1.      Tujuan umum
Yaitu, agar Mahasiswa/i memahami tentang “ penyakit difteri pada anak
2.      Tujuan khusus
a.       Definisi difteri
b.       Etiologi
c.       Tanda dan Gejala
d.       Patofisiologi
e.       Penatalaksanaan Medis
f.        Komplikasi
g.      Asuhan Keperawatan


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae

B.     Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi  oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat  bakteri Corynebacterium diphteriae :
1.      Gram positif
2.      Aerob
3.      Polimorf
4.      Tidak bergerak
5.      Tidak berspora


Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni  dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1.      Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2.      Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
1.      Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2.      Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3.      Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai  dengan gejala komplikasi  seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut  bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1.      Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.

2.      Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3.      Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4.      Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

5.      Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.


C.    Tanda dan gejala
a.       Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
b.       Batuk dan pilek yang ringan.
c.        Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d.       Mual, muntah , sakit kepala.
e.       Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor.
f.        Kaku leher
D.    Patofisiologi
 Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat  peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan  oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang  terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).

Menurut Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
1.      Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2.      Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3.      Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4.      Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.









E.     Penatalaksanaan
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1.      ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a.       TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC à intracutan Tunggu 15 menit à indurasi dengan garis tengah 1 cm à (+)
b.      CARA PEMBERIAN
ü  Test Positif à BESREDKA
ü  Test Negatif à secara DRIP/IV
c.       Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6 jam à observasi gejala cardinal.
B.     Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.


C.      Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
F.     Pemeriksaan penunjang
    1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
    2.  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
    3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
    4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
    5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
    6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

G.    Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya:
D.    Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
E.     Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
F.         Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
G.    Kerusakan ginjal (nefritis).




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
GANGGUAN PERNAFASAN:  DIPTERI


H.    Pengkajian
1.      Biodata
a.     Umur                           :Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi  berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b.    Suku bangsa                :  Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c.     Tempat tinggal            :  Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2.      Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3.      Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.      Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5.      Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.      Pola Fungsi Kesehatan
a.       Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b.       Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c.        Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d.       Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7.      Pemeriksaan fisik

6.      Pada diptheria tonsil - faring

a.       Malaise
b.      Suhu tubuh < 38,9 º c
c.       Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
d.      dinding faring
e.       Bulneck

7.      Diptheriae laring

ü  Stridor
ü  Suara parau
ü  Batuk kering
ü  Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan supraclavicular

8.      Diptheriae hidung

ü  Pilek ringan
ü  Sekret hidung serosanguinus à mukopurulen
ü  Lecet pada nares dan bibir atas
ü  Membran putih pada septum nasi.









B.      Diagnosa keperawatan
1.         Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.
2.         Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
3.        Nyeri akut b/d proses inflamasi.

C.     Rencana Keperawatan

NO
DX
TUJUAN
INTERVENSI
RASIONAL
1






















2
I






















II
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy selama 1X24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal.
Kriteria hasil :
a.       Frekuensi pernafasan dbn
b.      Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan.
c.        Pengeluaran sputum pada jalan nafas
d.       Tidak ada suara nafas tambahan
e.       Bernafas mudah
f.        Tidak ada dyspnea


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nutrisi klien dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
a.       Klien dapat mengetahui tentang penyakit yang dideritanya.
b.       Adanya minat dan selera makan.
c.        Porsi makan sesuai kebutuhan
d.       BB meningkat.



1.      Observasi tanda – tanda vital.
2.       Posisikan pasien semi fowler.
3.       Anjurkan pasien agar tidak terlalu banyak bergerak.
4.       Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
Oxygen












1.  Monitor intake kalori dan kualitas konsumsi makanan.
2.  Berikan porsi kecil dan makanan lunak/lembek.
3.    Berikan makan sesuai dengan selera.
4.    Timbang BB tiap hari












           

1.  untuk mengetahui keadaan umum pasien.
2.Agar  pasien merasa lebih nyaman
3.Agar sesak tidak bertambah.
4.Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien










1.   Untuk mengetahui pemasukan atau intake makanan.
2.    Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi oleh klien dan mencegah terjadinya anoreksia.
3.    Meningkatkan intake makanan.

4.    Mengetahui kurangnya BB dan efektifitas nutrisi yang diberikan.

3
III
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a.    Pasien dapat mengatakan nyeri yang dirasakan
b.      Nyeri berkurang
c.         Wajah tidak meringis.
d.      Skala nyeri berkurang.( 0-2
e.       TTV normal

1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri
2.Observasi ketidaknyamanan non verbal
3.Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi musik dan distraksi
4.Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan.
5.Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi

1. untuk mengetahui lokasi nyeri dan derajat nyeri, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang tepat.

2.    Agar dapat mengetahui tingkat nyeri pada pasien.
3.    Relaksasi dapat merelaksasi otot – otot sehingga nyeri dapat berkurang dan pasien bisa rileks.
4.    Lingkungan yang tenang dapat menjadikan pasien dapat istirahat.






5.      Agar nyeri berkurang dan pasien cepat sembuh..







BAB IV
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini  disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

B.     Saran
 untuk pembuatan makalah ini saya menyadari masih banyak kekurangan saya berharap bagi pembacanya untuk mengkritik guna untuk menyempurnakan makalah ini.terima kasih







DAFTAR PUSTAKA


 Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000

 Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

 Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar